Blog Feed

STATUS KEWENANGAN DAN INDEPENDENSI KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah Lembaga Penegak Hukum yang mempunyai kewenangan dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia, lahirnya lembaga penegak hukum anti rasuah ini merupakan wujud nyata dan keseriusan dalam pemberantasan korupsi di tanah air, lembaga penegak hukum yang mempunyai kewenangan dalam pemberantasan korupsi dan status independennya merupakan bentuk kepercayaan publik untuk KPK dalam memberantas korupsi yang semakin tak terkendalikan, mengingat lahirnya KPK yang didirikan pada tahun 2002 oleh Presiden ke lima Republik Indonesia merupakan alasan tidak efektifnya pemberantasan korupsi di indonesia oleh lembaga penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan yang di anggap terlalu kotor dan dinilai tidak optimal dalam Pemberantasan korupsi.

Lahirnya UU KPK Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Tindak pidana Korupsi, selain karena amanat UU, juga karena berubahnya paradigma sifat melawan hukum dari tindak pidana korupsi, yaitu sebagai ‘pelanggaran hak-hak sosial dan pelanggaran hak-hak ekonomi masyarakat secara luas’. Keberadaan KPK, yang secara tegas diatur dalam UU KPK, adalah sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air. KPK adalah independent agency, yang sering diklasifikasikan sebagai komisi negara, Komisi negara independen adalah organ negara (state organ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. Soal independensi KPK, Pasal 3 UU KPK yang berbunyi: komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Pasal itu dapat dinilai tidak multitafsir dan sudah tepat dalam pemberantasan korupsi. Agar KPK tetap sebagai lembaga Pemberantasan Korupsi yang Independen dalam menjalankan tugasnya kewenangan pada tahap penyelidikan sampai dengan Penuntutan haruslah berada dalam supervesinya.

Pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 .

IMPLEMENTASI HUKUMAN KEBIRI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DITINJAU DARI PRESPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Negara Republik Indonesia merupakan negera yang berdasarkan pada  Hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun 1945, Sebagai negara hukum Indonesia mengakui adanya prinsip kepastian hukum di dalam rechtsstaat demikian pula prinsip rasa keadilan di dalam the rule of law serta nilai spiritual dari hukum agama. Hukum tertulis dengan segala proseduralnya yang demikian itu semuanya harus diletakkan dalam konteks penegakan keadilan. Karena itu, ketentuan-ketentuan tertulis yang dapat menghalangi terwujudnya keadilan dapat ditinggalkan (Mahfud, 2007: 51)

Menurut Frederik Julius Stahl, unsur – unsur negara hukum Rechtstaat adalah  Perlindungan hak asasi manusia, Pemisahan atau pembagian kekuasaan  Pemerintah berdasarkan peraturan perundang – undangan dan Peradilan administrasi dalam perselisihan (Saiful Bahri, 2010 :159)

Salah satu parameter dari konsep negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia hal ini dimuat dalam Konstitusi Indonesia, Hak Asasi Manusia adalah Hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan  karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak tersebut juga tidak dapat dicabut (inalienable) (Pusham UII, 2008: 11)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Mengakui atau memberikan Jaminan Terhadap Pelindungan Hak Asasi Manusia hal ini dimuat dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945, aturan turunan mengenai hak asasi manusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000  Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.(UUD 1945)

Sebagai negara yang mengedepankan hukum dan menjunjung Tinggi hak asasi manusia dalam mengimplementasikan hak asasi manusia dibatasi oleh kewajiban asasi manusia sebagaimana di muat dalam Pasal 28 J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara” dengan adanya kewajiban Asasi tersebut memberikan batasan-batasan kepada manusia dalam Bertingkah laku. Hal ini diperkuat dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.” (Pasal 28 J UUD 1945 dan Pasal 73 UU 39 Tahun 1999  tentang HAM )

Sama hal nya seperti orang dewasa hak asasi manusia diberlakukan terhadap anak karena anak sebagai kelompok rentan yang mengalami kekerasan baik fisik maupun seksual dengan banyak nya kasus maka perlu dilakukan perlindungan terhadap anak. Secara defenisi Perlindungan terhadap anak merupakan hak asasi yang harus diperoleh anak. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD 1945), menentukan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pernyataan dari Pasal tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan kedudukan didalam hukum dan pemerintahan bagi semua warga negara, baik wanita, pria, dewasa dan anak-anak dalam mendapat perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum terhadap anak, bukan saja menjadi masalah hak asasi manusia, tetapi lebih luas lagi adalah masalah penegakan hukum, khususnya penegakan hukum terhadap anak sebagai korban tindak kekerasan (Nurliza, 2017: 1)

Anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki peran penting dalam pembangunan nasional wajib mendapatkan perlindungan dari negara sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan dari kekerasan. Pesatnya arus globalisasi dan dampak negatif dari perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, memunculkan fenomena baru kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak merupakan kejahatan serius (se’ious crimes) yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dan secara signifikan mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat. (Penjelasan Umum UU Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak )

Kekerasan seksual terhadap anak adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap anak karena ada dimensi yang sangat khas bagi anak. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap anak. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud adalah antara orang dewasa dan anak. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat/warga kelompok/ bersenjata/ aparat/ penduduk/ sipil.

Data dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mencatat perbandingan jumlah data kasus perlindungan anak dari tahun 2017 sebanyak 4579 kasus dan 2018 total 4885 kasus. Dari data diatas kasus kekerasan terhadap anak dapat digolongkan dari berbagai macam kategori tindakan kekerasan seperti kekerasan seksual, pelecehan seksual hingga bullying terhadap anak dan lainnya. Pelaku Kekerasan Seksual adalah lintas usia, termasuk anak-anak jadi pelaku. (http://www.komnasperempuan.go.id/pernyataan-sikap-komnas-perempuan-atas-kasus-kekerasan-seksual-yy-di-bengkulu-dan-kejahatan-seksual-yang-memupus-hak-hidup-perempuan-korban/)

Dengan maraknya kasus kekerasan  seksual yang menimpa anak-anak pemerintah pada tahun 2016 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 Tentang perubahan kedua Undang Undang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindugan Anak, dalam Undang Undang Perlindungan anak yang terbaru ini terdapat hukuman yang sebelumnya tidak pernah diterapkan di Indonesia Yaitu hukuman Pengkebirian.(UU 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak)

Dengan pemberlakuan Undang Undang nomor 17 Tahun 2016 tentang perlindungan anak yang memuat sanksi tentang kebiri membuat perdebatan  diberbagai kalangan masyarakat ada masyarakat yang pro dengan pemberlakukan sanksi kebiri dan ada masyarakat yang kontra dengan pemberlakukan sanksi kebiri, salah satunya Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang akan mengatur tentang sanksi kebiri kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual (Perpu Kebiri) bermasalah secara materiil maupun formil karena berpotensi melanggar prinsip hak asasi manusia (HAM).  Perpu kebiri akan berdampak pada hilangnya hak seseorang untuk melanjutkan keturunan dan terpenuhi kebutuhan dasarnya yang dijamin dalam UUD 1945 (http://www.beritasatu.com /hukum/365041 -pshk-perppu-kebiri melanggar-hak asasi- manusia.html)

Bagi sebagaian pihak yang pro atau mendukung dengan adanya pemberlakukan hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual menganggap bahwa hukuman kebiri pantas diberlakukan terhadap predator-predator seksual anak, hal senada disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Yohanna Yambise yang menyetujui pemberlakuan Hukuman Kebiri bagi Para Pelaku Pelecehan Seksual terhadap anak atau Pelaku Pedofelia. (http://kupang.tribunnews.com/2018/01/16/ hukuman- kebiri- bagi- para- predator -anak- tinggal -ditandatangani-preside

A. Penerapan Kebiri Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak dalam Prespfektif Hak Asasi Manusia

Kekerasan seksual menjadi akar permasalahan yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang kemudian telah di sahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak.

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak. Menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 20l4 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang salah satu perubahannya menitikberatkan pada pemberatan sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Namun, perubahan Undang-Undang tersebut belum menurunkan tingkat kekerasan seksual terhadap anak secara signifikan.

Negara perlu mengambil langkah-langkah yang optimal dan komprehensif dengan tidak hanya memberikan pemberatan sanksi pidana, juga menerapkan bentuk pencegahan (preventif) dengan memberikan tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Tiga tahun terakhir menjadi tahun yang memperihatinkan bagi dunia anak Indonesia. Pasalnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan ratusan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diduga dilakukan orang terdekat sebagai pelaku. Komisioner KPAI Jasra Putra mengungkapkan, data menunjukkan bahwa pihaknya menemukan 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015. Sementara pada 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kemudian di 2017, tercatat sebanyak 116 kasus. (KPAI, Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. http://www.kpai.go.id/berita/tahun-2017-kpai-temukan-116-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak/)

Latar belakang tersebut yang membuat pemerintah segera turun tangan untuk membentuk undang-undang yang memperberat sanksi bagi para pelaku predator anak.  Undang-Ungang nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlidungan Anak dibentuk dengan memperberat sanksi-sanksi terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Ketentuan dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlidungan Anak memberikan sanksi berupa Kebiri bagi setiap pelaku yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini.

Pengkebirian menimbulkan pro dan kontra bagi masyarakat yang pro atau mendukung isu pengkebirian dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlidungan Anak menyatakan pengkebirian perlu dilakukan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku potensial yang dikemudian hari akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Bagi kalangan yang kontra atau tidak sependapat dengan adanya Undang-Undang nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlidungan Anak menganggap bahwa pengkebirian terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak akan merupakan hal yang melanggar Hak Asasi Manusia dan tidak diperkenankan oleh Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.

Berangkat dari perdebatan panjang tentang pengkebirian baik bagi kalangan pro maupun yang kontra dengan demikian perlu dilakukan pengkajian dalam  prespektif  hak asasi manusia apakah penerapan kebiri dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlidungan Anak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.?

1. Penerapan Kebiri dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlidungan Anak di Tinjau dari Undang-Undang Dasar.

Pasal 76D atas Perubahan Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

 Pasal 81 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 merubah ketentuan sanksi dalam Perubahan kedua Undang Undang nomor nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Yang menyatakan dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. dan dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Pasal 76E atas Perubahan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 merubah ketentuan sanksi dalam Perubahan pertama Undang Undang nomor nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). dan dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 Diatur dalam BAB XA dari Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28J diantaranya sebagai berikut:

  1. Pasal 28A memberikan Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya
  2. Pasal 28B memberikan Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
  3. Pasal 28C memberikan Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar nya, Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya dan Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
  4. Pasal 28D memberikan Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum, Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan Hak atas status kewarganegaraan.
  5. Pasal 28E memberikan Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pekerjaannya, kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk kembali, Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya. dan Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
  6. Pasal 28F memberikan Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
  7. Pasal 28G memberikan Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia, dan Hak untuk bebas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
  8. Pasal 28H memberikan Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan, Hak atas jaminan sosial dan Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun.
  9. Pasal 28I memberikan Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) dan Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut. Serta Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
  10. Pasal 28J memberikan Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan dan melindungi hak asasi serta kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan didalam undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketetiban umum.

Pengaturan sanksi Kebiri dalam Pasal 76D Jo Pasal 81 dan Pasal 76E Jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak bila dikaji mengenai Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia bisa dilihat dari  prespektif  pelaku dan  prespektif  korban.

Presfekif korban kekerasan seksual beranggapan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dengan cara melakukan kekerasan seksual baik dalam bentuk persetubuhan ataupun pencabulan telah menghancurkan masa depan anak yang menjadi korban hal ini melanggar ketentuan pasal 76D Jo Pasal 81 dan Pasal 76E Jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Bila dikaji dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 Yang menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya dan pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak  untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi serta melanggar ketentuan Pasal 28G  yang menyatakan bahwa setiap orang  berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, dan berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia. Serta berhak untuk bebas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.

 Prespektif  Pelaku kekerasan seksual pengkebirian yang dilakukan oleh negara melanggar ketentuan  Pasal yang sama seperti pada korban yaitu Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 Yang menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya dan pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak  untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi   serta melanggar ketentuan Pasal 28G  yang menyatakan bahwa setiap orang  berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, dan berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia. Serta berhak untuk bebeas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.

Meskipun perbuatan pengkebirian yang dilakukan oleh negara terhadap Pelaku telah melanggar Hak Asasi Manusia pelaku kekerasan seksual. Tetapi perbuatan negara dalam hal ini dapat dikatakan tidak melanggar Hak Asasi Manusia karena pelaku sudah melanggar dan menghilangkan hak asasi orang lain dalam hal ini anak sehingga perbuatan negara dengan cara pengkebirian dibenarkan oleh hukum.

Sesuai dengan Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan alam menjalankan dan melindungi hak asasi dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketetiban umum.

Pengkebirian dapat disimpulkan tidak melanggar hak asasi manusia, karena pelaku sendiri dalam menjalankan aksinya melakukan kekerasan seksual terhadap anak telah melanggar hak asasi manusia anak yang sangat potensial sebagai generasi penerus bangsa.

2. Penerapan Kebiri dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak ditinjau dari Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia mengatur mengai hak hak yang dilindugi diantaranya :

  1. Pasal 9 Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
  2. Pasal 11 Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
  3. Pasal 17 Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar
  4. Pasal 29 Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
  5. Pasal 52 Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.  serta Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Pengaturan sanksi Kebiri dalam Pasal 76D Jo Pasal 81 dan Pasal 76E Jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak bila dikaji mengenai Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia bisa dilihat dari  prespektif  pelaku dan  prespektif  korban.

Pemberlakukan sanksi kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak menurut  Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia tidak bertentangan dengan Hak Asasi manusia meskipun perbuatan yang dilakukan oleh negara terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan dengan cara Kebiri telah merenggut hak asasi manusia si pelaku, tetapi perlu diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku yang telah melakukan tindak pidana kekerasan sesual terhadap anak telah melanggar atau mengurangi hak asasi manusia/hak asasi anak itu sendiri hal ini bertentangan dengan Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Perbuatan pelaku telah melanggar hak asasi orang lain sehingga negara dapat dibenarkan mengurangi ataupun merampas hak asasi si pelaku sesuai dengan Pasal 70 Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Menyatakan bahwa Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dapat disimpulkan bahwa pengkebirian terhadap pelaku yang dilakukan oleh negara tidak melanggar hak asasi manusia si pelaku.

3. Penerapan Kebiri dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2016 Tentang Pelindungan Anak ditinjau dari KUHP

KUHP mengenal jenis jenis Hukuman yang diatur dalam pasal 10 KUHP sebagai berikut :

  1. Pidana Pokok yang berupa Hukuman Mati, Hukuman Penjara, Hukuman Kurungan, dan Hukuman denda
  2. Hukuman Tanbahan yang berupa Pencabutan beberapa Hak tertentu Perampasan barang yang tertentu dan Pengumuman putusan hakim

           

Sanksi Pidana berupa Kebiri sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2016 Tentang Pelindungan Anak tidak diatur dalam jenis-jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 KUHP yang dalam bentuk pidana pokok dan pidana tambahan, kemudian hal ini menimbulkan pertanyaan apakah penerapan kebiri menyimpangi ketentuan yang ada dalam Pasal 10 KUHP.

Berdasarkan Pasal 103 KUHP memberikan ruang untuk diberlakukannya ketentuan ketentuan yang menyimpangi pasal-pasal yang ada dalam KUHP termasuk Pasal 10 KUHP tentang jenis-jenis Pidana ketentuan tersebut menyatakan “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. penerapan sanksi pidana berupa kebiri dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak telah sesuai dengan ketentuan pasal 10 KUHP.

Pengaturan sanksi Kebiri dalam Pasal 76D Jo Pasal 81 dan Pasal 76E Jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dapat dikaji dalam Konstitusi, Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan dalam KUHP.  Dikaji dari  prespektif  konstitusi penerapan sanski kebiri terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak tidak dikatakan melanggar hak asasi karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku telah melanggar hak asasi orang lain sehingga negara dibenarkan untuk mengurangi hak asasi manusia si pelaku. Hal ini sesuai pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945.

Bila dikaji dari Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia penerapan kebiri juga tidak melanggar hak asasi manusia karena pelaku yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak telah melanggar hak asasi manusia anak sehingga penerapan kebiri dapat dibenarkan sesuai dengan Pasal 70 Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia bahwa Hak asasi manusia dibatasi oleh hak asasi manusia lain.

Penerapan kebiri dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak telah sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP. Meskipun dalam pasal 10 tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai jenis pidana berupa kebiri namun dalam pasal 103 KUHP memberikan peluang bagi diberlakukannya ketentuan khusus yang menyimpang dari KUHP termasuk membenarkan penerapan pidana berupa kebiri.

B. Penerapan Kebiri Diberbagai Negara Di Dunia Dan Implementasi Kebiri Di Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak

Penerapan kebiri yang menimbulkan pro dan kontra di Indonesia ada yang mendukung penerapan kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak dengan argumentasi bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak telah merampas masa depan anak sebagai generasi potensial penerus bangsa sehingga penerapan kebiri bagi pihak yang pro akan kebiri tidak bertentangan dengan hak asasi manuisa.

Bagi kalangan yang kontra akan hukuman kebiri beranggapan bahwa kebiri tidak menyelesaikan masalah dari kekerasan seksual terhadap anak penerapan kebiri hanya akan membebani keuangan negara karena setiap penerapan kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak membutuhkan biaya yang besar, kemudian permasalahan muncul apabila kebiri diterapkan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak bagi kalangan yang kontra penerapan kebiri melanggar hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yang sebagai perbaikan dari diri sipelaku tindak pidana.

Permasalahan ketika wacana pengkebirian terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di Indonesia, sebelumnya banyak negara yang akan menerapkan pengkebirian terhadap pelaku tindak pidana menimbulkan pro dan kontra di negaranya dan kecaman dari aktivis Ham internasional, namun negara-negara didunia yang telah menerapkan pengkebirian tidak mempermasalahkan ada tidaknya pro dan kontra karena pada prinsipnya setiap negara berwenang membuat aturan-aturan untuk melindungi warga negaranya.

Sepuluh negara yang telah menerapkan pidana berupa pengkebirian terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak kebanyakan negara menerapkan pidana kebiri dengan cara menggunakan kebir kimia berikut ini adalah negara-negara yang telah menerapkan hukuman kebiri dinegaranya :

No Negara Keterangan Perkembangan Terbaru
1 Korea Selatan Korea Selatan menjadi negara pertama di Asia yang melegalkan hukuman  kebiri di tahun 2011. Undang-Undang tersebut disahkan pada bulan Juli tahun tersebut dan mengijinkan suntikan kebiri pada terdakwa kejahatan seksual berusia di atas 19 tahun. hanya dua pria telah menjalani hukuman kebiri. Juga mendapat banyak kritik.
2 Inggris ingris telah sejak lama menerapkan kebiri kimia. Sebanyak 25 narapidana secara sukarela melakukan suntikan ini di tahun 2014. kebijakan ini merupakan turunan pasca perang dunia II, dimana Pada saat itu, tindakan homoseksual antara laki-laki yang masih ilegal dan homoseksualitas secara luas dianggap sebagai penyakit mental yang dapat diobati dengan pengebirian kimia
3 Amerika Serikat 9 negara bagian, termasuk California, Florida, Oregon, Texas, dan Washington yang menerapkan hukuman kebiri. Mendapat banyak tantangan, medroksiprogesteron asetat (MPA, bahan dasar sekarang digunakan dalam DMPA)obat tidak pernah disetujui oleh FDA untuk digunakan sebagai pengobatan untuk pelanggar seksual.
4 Rusia Menerima chemical castration untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Undang-Undang yang melegalkan hukuman kebiri baru saja disahkan di Rusia. Para penjahat seksual yang Meski begitu, seseorang harus dinyatakan benar-benar paedofilia oleh panel dokter. Pada Oktober 2011, parlemen Rusia meloloskan aturan hukum yang mengizinkan pengadilan untuk memerintahkan hukuman kebiri kimiawi terhadap pelaku kejahatan seksual. Hukuman tersebut mengancam pelaku kejahatan seksual yang menyerang anak-anak di bawah usia 14 tahun.
5 Polandia Sejak tahun 2010 negara Polandia sudah menerapkan hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan pada anak. Tetapi, narapidana harus didampingi oleh psikiatri sebelum menjalani hukuman ini  
6 Moldova Pada tanggal 6 Maret, 2012, pemerintah Moldova mulai memberlakukan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual anak Namun  hukuman ini mendapat kecaman dari Amnesty International dan disebut perlakuan tidak manusiawi. Amnesty International menyebut bahwa setiap tindak kejahatan harus dihukum dengan cara yang sesuai dengan Deklarasi HAM Universal.  
7 Estonia Pemerintah Estonia mulai memberlakukan hukuman kebiri secara kimiawi terhadap pelaku kejahatan seks Pada tanggal 5 Juni, 2012. Hukuman kebiri di Estonia utamanya diberlakukan kepada pelaku pedofil (pelaku penyimpangan seksual terhadap anak kecil).
8 Turki Turki kemungkinan akan mulai menerapkan hukum kebiri kimia bagi para pedofil. Namun, belum ada penjelasan implementasi teknis. Kementerian Kesehatan yang kemudian akan merumuskannya.
9 Taiwan Menerapkan suntik kebiri khusus pada pedofilia dan residivis kejahatan seksual anak.  
10 Prancis Para pelaku kejahatan seksual boleh memilih hukuman baginya, apakah dipenjara untuk waktu yang lama atau dikebiri. Dalam hal ini pengebirian dilakukan secara kimia.  

Sumber: icjr.or.id/menguji-eforia-kebiri, Menguji Euforia Kebiri Catatan Kritis atas Rencana Kebijkan Kebiri (chemical castration) bagi pelaku kejahatan seksual anak Indonesia, hal. 10-13)

Berdasarkan ke sepuluh negara yang telah menerapkan pengkebiran terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak terdapat perbedaan-perbedaan penerapan pengkebirian di masing-masing negara, untuk penerapan kebiri di Korea Selatan hanya dapat dilakukan bagi para pelaku kejatahan seksual terhadap anak yang berusia diatas 19 tahun, selanjutnya penerapan kebiri di Inggis penerapan kebiri bermula sejak awal perang dunia kedua yang diterapkan terhadap para kaum homoseksual dengan cara kebiri kimia.

Di Rusia Penerapan kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan apabila pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak telah dinyatakan oleh dokter sebagai orang yang terjangkit pedofelia, sedang penerapan di kebiri tadi Polandia hanya diterapkan terhadap para pelaku pemerkosaan terhadap anak yang penerapan kebiri harus didampingi oleh psikiatri,  dan untuk di Taiwan pengkebirian hanya dapat dilakukan terhadap para pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang telah residivis atau telah berulang kali melakukan kekerasan sesual terhadap anak.

Penerapan Kebiri dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak  dimulai dari adanya tindakan penyelidikan, tindakan ini dilakukan guna menemukan ada tidaknya suatu perbuatan pidana. Apabila telah ditemukan suatu perbuatan pidana dalam hal ini tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak selanjutnya pihak kepolisan akan menindaklanjuti kedalam tahapan penyidikan.

Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tindakan penyidikan dilakukan untuk memeriksa dan mengumpulkan barang bukti serta memeriksa saksi-saksi yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi dialami oleh anak, penyidik dapat juga menghadirkan ahli untuk membuat terang jalannya pemeriksaan perkara ditahapan penyidikan. Setelah serangkaian proses dari tahapan pemeriksaan tersangka, pengumpulan barang bukti dan alat bukti dalam bentuk alat bukti saksi, surat dan keterangan ahli selanjutnya berkas perkara kekerasan seksual yang telah lengkap atau telah P-21 kemudian di serahkan oleh penyidik kepada kejaksaan untuk di lakukan penuntutan.

 Penuntut Umum  setelah menerima berkas pelimpahan perkara dari penyidik kemudian membuat surat dakwaan mengenai pelaku kekerasan seksual yang di dakwa dengan Pasal 76D Jo Pasal 81 dan Pasal 76E Jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. setelah berkas penuntutan selesai setelah itu Penuntut Umum melimpahkan berkas ke Pengadilan Untuk disidangkan.

Setelah melewati tahapan-tahapan persidangan dari pembacaan dakwaan oleh Penuntut Umum, Nota Keberatan dari Penasehat Hukum Terdakwa, Tanggapan dari Jaksa Penutut Umum kemudian Pembuktian oleh Penuntut Umum dan setelah itu Penuntut Umum  membuat  Surat Tuntutan selanjutnya Penasehat Hukum mengajukan  Nota Pembelaannya dan pase akhir dipersidangan adalah Putusan oleh hakim. Jika oleh hakim perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa terbukti melanggar ketentuan Pasal 76D Jo Pasal 81 dan Pasal 76E Jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak   maka hakim dapat menjatuhkan pidana pokok berupa pidana penjara, pidana seumur hidup dan pidana tambahan berupa hukuman kebiri.

Pelaksanaan Eksekusi Kebiri terhadap terpidana kekerasan seksual terhadap anak bisa dilakukan apabila putusan hakim telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan Pasal 81A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Pelaksanaan kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Dilaksanakan atau  dilakukan di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan Pelaksanaan kebiri rehabilitasi. Dalam hal ini dibawah kendali kementerian Hukum dan Ham yang bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kebiri  kimia yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini dibawah pengawasan Kementerian Kesehatan harus  disertai dengan rehabilitasi. artinya terpidana kebiri yang sedang menjalani pidana kebiri kimia harus diperbaiki fisik dan psikisnya agar tidak terjerumus menjadi pelaku kekerasan seksual atau pelaku pedofelia dikemudian hari setelah pelaku selesai menjalani pidana pokok dan pidana tambahan yang berupa kebiri kimia.

Pelaksanaan teknis pengkebirian sebagai aturan teknis dari Undang-Undang nomor 17 tahun 2016 atas perubahan kedua Undang-Undang Perlindungan anak  diatur dalam peraturan pemerintah. Namun hingga saat ini Pemerintah belum juga mengeluarkan pengaturan teknis mengenai tata cara pengkebirian. Pada tahun 2017 Pemerintah baru mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi anak yang menjadi korban tindak pidana. Pemerintah setelah 2 tahun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perlindungan anak disahkan belum ada peraturan teknis yang mengatur tata cara kebiri.

Dengan belum adanya aturan teknis mengenai pengkebirian membuat pelaksanaan pidana tambahan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual tidak bisa diadili sebagaimana mestinya, karena aturan revisi Undang-Undang nomor 17 tahum 2016 tentang perlindungan anak hanya sebagai undang-undang yang memuat tentang ancaman yang berat berupa kebiri tapi pada praktiknya tidak dapat dilaksakan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menolak menjadi eksekutor menjadi pekerjaan rumah yang tak mudah bagi pemerintah. Alasan bahwa dokter anggota IDI mempunyai etika hanya boleh melakukan tindakan dalam rangka pelayanan medis tentu saja harus dihormati. Selain itu, kesiapan pemerintah untuk  menerapkan hukuman kebiri ini pun masih menjadi sorotan oleh fraksi yang belum setuju di Senayan. Pemerintah sampai saat ini dinilai belum siap menerapkan kebijakan ini. (Republika, 2016 , Pelaksanaan Hukuman Kebiri. (http:/ /www.republika. co.id/berita/ koran/opini-koran /16/07/27/oayrk533-pelaksanaan-hukuman-kebiri)

Untuk itu, sudah saatnya pemerintah di pusat mempersiapkan diri untuk memilih pihak yang akan menjadi eksekutor hukuman kebiri ini. Pemerintah harus meminta masukan berbagai kalangan untuk memilih siapa yang paling berhak melakukan eksekusi. Penolakan yang dilakukan oleh IDI hendaknya membuat pemerintah tidak perlu lagi memaksa mereka untuk memenuhi keinginan pemerintah. Pemerintah bisa mencari pihak lain yang tepat.

Di sisi lain, pemerintah harus mempersiapkan dengan matang langkah dan konsekuensi penerapan hukuman kebiri. Sebagai hukuman yang baru diterapkan, tentu akan ada sejumlah persoalan baru yang sangat mungkin sebelum ini tak pernah muncul. Karena itu, pemerintah harus belajar dari negara lain sebelum memutuskan menerapkan hukuman kebiri ini. Persiapan yang matang dari peraturan ini akan membuat semua berjalan mulus. Dukungan dari berbagai kalangan untuk menghukum berat pelaku kejahatan seksual merupakan modal besar pemerintah dalam menerapkan kebijakan melindungi anak-anak dari kejahatan seksual. 

Berdasarkan hasil serta uraian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

  1. Pelaksanaan Kebiri dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia serta KUHP. Negara dalam hal ini Pemerintah dibenarkan untuk menjatuhkan hukuman kebiri kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual yang melanggar Pasal 76D Jo Pasal 81 dan Pasal 76E Jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak. Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku telah merampas hak asasi orang lain dalam hal ini anak sehingga negara dibenarkan untuk merampas hak asasi manusia pelaku dengan cara mengambil tindakan pengkebirian. Hal ini dibenarkan oleh Pasal 28J Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa Dalam Menjalankan Hak Asasinya setiap orang wajib untuk menghormati dan tidak melanggar hak asasi   orang lain.  dengan demikian penerapan kebiri oleh negara kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak melanggar hak asasi manusia dan penerapan kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak telah sesuai dengan nilai-nilai keadilan baik bagi korban pelaku dan masyarakat.
  2. Pelaksanaan hukuman Kebiri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak telah diterapkan diberbagai negara di dunia diantaranya Korea selatan, Amerika, Rusia dan Laim-Lain. Untuk di Indonesia Pelaksanaan Hukuman Kebiri dapat dilakukan setelah pelaku telah menjalani pidana pokok dan hukuman kebiri diberikan paling lama dua tahun bagi pelaku. Aturan Teknik mengenai tata cara pengkebirian  belum diatur dalam Peraturan turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang Perlindungan Anak. Ikatan Dokter Indonesia hingga saat ini menolak untuk menjadi eksekutor dalam pelaksanaan kebiri kimia di Indonesia.

Berdasarkan uraian-uraian serta kesimpulan diatas, maka penulis akan memberikan saran, diantaranya sebagai berikut :

  1. Hukuman Kebiri dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang Perlindungan Anak dalam penerapannya meskipun dianggap tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar dan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Namun pemerintah diharapkan berhati-hati dalam pelaksanaannya karena hal ini menyangkut nasib si pelaku jangan sampai pelaksanaan hukuman kebiri akan menimbulkan derita yang berlebihan bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.
  2. Pemerintah diharapkan dapat segera membentuk aturan teknis mengenai kebiri dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Pengkebirian Hanya sekedar wacana apabila tidak ada aturan teknisnya. Pemerintah diharapkan segera berkordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia dalam hal siapa yang berwenang sebagai eksekutor mengenai pelaksanaan kebiri. Belum adanya aturan teknis tentang tatacara pengkebirian memberikan peluang untuk diadakan penelitian lanjutan terkait dengan penerapan kebiri setelah adanya peraturan teknis terkait pengkebirian.

ANTARA TAMBANG DAN KELESTARIAN ALAM

Indoneisa adalah Negara yang kaya akan  Sumber Daya Alamnya Letak Geografis yang Strategis dengan Luas Wilayah sekitar 1.910.931 km²  yang terdiri dari 34 Provinsi dan 17.504 Ribu Pulau membuat Indonesia memiliki bermacam-macam hasil bumi yang melimpah ruah baik di bidang pertanian, pertambangan dan laut, dari sekian banyak Sumber Daya Alam di Indonesia yang menjadi perhatian lebih salah satunya ialah aktivitas pertambangan yang ada di Daerah Provinsi Bangka Belitung.

Provinsi yang memiliki selogan Bumi Serumpun Sebalai ini mempunyai hasil bumi di bidang pertambangan berupa biji timah yang sudah ada jauh sebelum Indonesia Merdeka, sehingga membuat sebagian penduduk pribumi asli berprofesi sebagai penambang timah, sejatinya aktivitas penambangan yang dilakukan masyarakat sudah menajadi hal turun-temurun sehingga pada saat ini jumlah aktivitas penambang yang ada di Bangka Belitung pun semakin meningkat.

Salah satu parameter untuk mengelola Sumber Daya Alam di Indonesia khususnya aktivitas pertambangan yang ada di Daerah Bangka Belitung lebih lanjut di atur Oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah masing-masing Kabupaten/Kota. Ketentuan tersebut di atur menurut heararki Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dari yang tertinggi sampai dengan Peraturan yang berada dibawahnya, berkaitan dengan Hak maupun Kewajiban antara pelaku usaha tambang dengan Pemerintah.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan jaminan terhadap Perekonomian Nasional Demi Kesejahteraan Sosial sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, aturan turunan mengenai aktivitas pertambangan secara Nasional maupun Khusus Daerah Provinsi Bangka Belitung di atur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, Peraturan Daerah Provinsi Bangka Belitung Nomor 07 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral, dan Peraturan-Peraturan Daerah di Masing-masing Kabupaten/Kota.

Sebagai Negara yang mengedepankan Perekonomian Nasional Sebagaimana dimuat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengelolaan pertambangan di wilayah Provinsi Bangka Belitung harus berdasarkan aturan dan izin, baik yang akan melakukan pertambangan oleh Perseorangan, Badan Usaha maupun Koperasi sesuai dengan ketentuan dalam BAB VI Tentang Izin Usaha Petambangan Peraturan Daerah Provinsi Babel Nomor 07 Tahun 2014.

Aktivitas pertambangan di Daerah Bangka Belitung terkadang menjadi polemik sehingga menimbulkan Pro dan Kontra di dalam Masyarakat, terutama bagi petani dan nelayan yang merasa bahwa aktivitas penambangan dirasa sebagai suatu ancaman akan dampak yang ditimbulkan membuat lingkungan, hutan dan laut menjadi tercemar, karena kurangnya tanggungjawab dari para penambang Ilegal maupun penambang Legal untuk Mereklamasi kembali lingkungan Pascatambang.

Bagi masyarakat yang berprofesi sebagai penambang aktivitas penambangan merupakan sumber mata pencarian mereka dalam kehidupan sehari-hari, namun berbeda pula dengan masyarakat yang berprofesi sebagai petani dan nelayan yang menganggap aktivitas penambangan sebagai sebuah ancaman bagi sumber mata pencarian mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Kehawatiran tersebutlah yang menjadi Problematika sehingga perlu ditinjau lebih lanjut, sejatinya aktivitas pertambangan yang ada di masing-masing Daerah Bangka Belitung dapat di bagi dalam dua kategori yaitu penambangan yang dilakukan secara Legal dan Ilegal, aktivitas pertambangan yang dilakukan secara Legal telah melewati beberapa tahapan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam Peraturan Daerah Provinsi Bangka Belitung Nomor. 07 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral maupun di dalam Peraturan Daerah masing-masing Kabupaten, sedangkan kategori penambangan Ilegal ialah aktivitas pertambangan yang dilakukan tanpa adanya Izin dan belum melewati tahapan yang telah di tentukan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bangka Belitung Nomor. 07 tahun 2014 beserta Peraturan Daerah masing-masing Kabupaten.

Penindakan terhadap penambang ilegal telah dilakukan beberapa kali oleh pihak yang berwajib namun hal ini tidak membuat jera para pelaku aktivitas penambang ilegal, sehingga perlunya tindakan Preventif baik berupa pembekalan melalui pelatihan-pelatihan yang mampu membuka ruang usaha bagi para pelaku aktivitas penambangan liar serta tindakan Refresif dalam penanganannya harus lebih tegas, transparan dan Adil baik berupa Analisis Dampak Lingkungan, Izin Usaha Pertambangan dan lain sebagainya.

Sehingga dari segala bentuk Pencegahan yang diberikan dengan menggunakan metode pelatihan-pelatihan usaha, masyarakat mampu dalam mengembangkan ide-ide baru dalam usahanya, mengingat banyaknya potensi di bidang Pertanian yang belum di kembangkan di Daerah Bangka Belitung seperti salah satu contohnya ialah Perkebunan kopi, Buah-buahan dan lain sebagainya.  Sedangkan dari segala bentuk refresifnya mampu membuat masyarakat sadar akan pentingnya kelestarian Alam dan Sadar Hukum, sehingga hal tersebut akan menjadi nilai lebih bagi Masing-masing Daerah untuk dapat mendukung program-program Pemerintah baik di sektor Pariwisata maupun di sektor yang lainnya. Serta mampu memberikan pemasukan bagi setiap masing-masing Daerah sehingga cara yang di lakukan lebih bersahabat dengan lingkungan yang hijau, bersih, lestari dan tetap terjaga keutuhannya. Yang lebih terpenting ialah adanya Check And Balance antara Pemerintah dan Pelaku Usaha Tambang yang Legal sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan Rakyat di sekitar.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).  (Al Qur’an Surat Al  Rum 41 – 42)

Wassalamualaikum warrohmatullahhi wabarokatuh.